Thursday, October 23, 2008

Artikel Iptek - Bidang Sistem kontrol Robot dan Budaya Oleh Cicin Agus Willi


Pernah menonton film yang berjudul I, Robot atau film yang sudah agak lama seperti RoboCop? Tentu saja tulisan ini dibuat bukan untuk mempromosikan filmnya, namun lebih kepada melihat bagaimana sebuah negara seperti Amerika mengenalkan robot di masa depan kepada masyarakat atau rakyatnya. Kenapa demikian, karena paling tidak film-film atau media-media yang dibuat juga mencerminkan impian atau harapan dari sebuah masyarakat atau rakyatnya. Karena sebuah pepatah mengatakan, apa yang kita lakukan hari ini adalah mimpi kita kemarin.

Di kedua film tersebut digambarkan bagaimana robot menjadi musuh dari manusia dan melanggar aturan tentang hukum-hukum robot yang ditulis oleh Isaac Asimov yang terkenal dengan hukum Asimovnya. Nah perilaku sebuah negara mengenalkan teknologi itu tidak terlepas dari budaya negara tersebut.

Istilah robot diperkenalkan pertama kali oleh seorang berkebangsaan Chekoslowakia bernama Karel Capek (1890-1938) di tahun 1920, berasal dari bahasa setempat robota yang berarti budak atau kerja manual. Dari situlah istilah tersebut digunakan sebagai pengganti istilah budak mekanik yang digunakan membantu pekerjaan manusia. Itulah sebabnya mengapa negara-negara Barat seringkali memandang robot dengan nuansa perspektif yang negatif.

Lain halnya di negara Jepang, masyarakatnya mempunyai ketertarikan dengan robot yang memiliki status layaknya seorang bintang pujaan. Seperti di World Expo 2005 yang lalu di Perf. Aichi, pavilion-pavilion yang menonjolkan pertunjukan robot-robot yang bisa berbicara, berlari, menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat instrumen musik, menyedot animo pengunjung yang luar biasa meskipun untuk itu pengunjung harus rela antri berjam-jam untuk bisa menontonnya. Konon kabarnya, tidak cukup waktu sehari dua hari untuk bisa masuk ke semua pavilionnya.

Juga pada even-even yang lainpun, orang-orang berduyun-duyun bergandengan bersama keluarganya mendatangi pameran-pameran robot di berbagai tempat, bertanya dengan para pakar untuk mendapatkan penjelasan singkat tentang robot. Dan sudah menjadi hal yang umum di masyarakat Jepang melihat orangtua dan anak-anaknya berpose bersama robot sebagai momen kenangan.

Ini semua tidak terlepas dari adanya perbedaan cara pandang dan cara mengenalkan robot kepada masyarakatnya. Lihat saja contoh kasus pengaruh manga (komik) tentang robot seperti film kartun legendaris dan paling digemari Astro Boy atau Tetsuwan Atom-kun (kun panggilan untuk anak), sebuah film animasi yang menggambarkan robot berbentuk seorang anak laki-laki seusia anak-anak SD yang bersahabat dengan manusia, mungkin bisa menjadi contoh terbaik sebagai penyebab pendekatan yang berbeda tentang robot antara Negara Barat dengan Jepang.. Tetapi memang bukan itu saja, penyebabnya, karena menurut akar budaya mereka, kecintaan Jepang kepada robot juga kembali kepada masa lalu mereka di masa periode Edo (1603-1867). Demikian dikatakan oleh Yoji Umetani, seorang pakar robot dari negeri sakura.



Gambar 1. Boneka Chahakobi Ningyo

Selama periode Edo, boneka-boneka termasyhur yang dibuat dapat bergerak secara otomatis menggunakan bantuan benang dan mekanisme mirip kerja timer atau pewaktu dengan menggunakan bantuan pegas. Bahkan istilah karakuri itu sendiri pun yang dinisbahkan kepada mekanisme otomatis, sudah muncul pada periode tersebut.

Uniknya boneka karakuri yang muncul di jaman Edo tersebut sudah sangat populer sekali di kalangan masyarakatnya, dan perlu dicatat bahwa penggunaan teknologi tersebut bukanlah diperuntukkan untuk kalangan industri ataupun militer, namun semata hanyalah untuk hiburan ataupun tontonan semisal chahakobi ningyo (Gambar 1) atau boneka untuk menyajikan minuman teh khas Jepang kepada para tamu dan atau yang terkenal pula yakni yumihiki doji (boneka yang dapat memanah) (Gambar 2).



Gambar 2. Boneka Yumihiki Doji

Para ahli pembuat boneka tersebut bersaing satu dengan yang lain untuk membuat boneka karakuri dengan teknik yang terbaik. Sangat mungkin atmosfir tersebut mirip dengan keadaan atmosfir sekarang ini di Jepang. Banyak sekali ahli-ahli di bidang robotika yang juga bersaing membuat robot-robot mirip manusia atau humanoid robot yang bisa berjalan, bercakap-cakap dan bermain dengan manusia.

Bahkan sudah menjadi budaya tersendiri di antara perusahaan-perusahaan terkemuka di Jepang untuk berlomba menciptakan robot yang ahhirnya menjadi trademerk tersendiri bagi perusahaan tersebut. Katakanlah seperti Honda yang membuat ASIMO sebagai robot bipedal pertama yang bisa berjalan dengan kedua kakinya, Sony dengan QRIO yang tampil menarik ketika menari dan memimpin orkestra, dan Toyota yang terkenal dengan robot-robot yang mahir memainkan berbagai alat instrumen musik, serta Murata yang mengeluarkan MurataBOY yang konon bisa mengendarai sepeda roda dua di atas titian sebuah jembatan dengan satu pilar saja serta masih banyak yang lain.

Pengetahuan, teknologi dan kepekaan yang memberikan pesona dan kecintaan akan robot kepada masyarakat bangsa Jepang sekarang ini, dan juga kekuatan untuk mengembangkannya berakar secara mendalam dari budaya bangsanya yang mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dari sudut pandang ini kita bisa mengatakan bahwasanya robot merupakan sebuah aset intelektual yang sangat penting dari budaya Jepang.

Bagaimana dengan negara dan bangsa kita Indonesia tercinta? Kalau negara dan bangsa seperti Jepang sekarang ini ibarat sebuah pohon besar yang sudah lebat dan ranum buahnya, itu tidak luput dari nenek-nenek moyang mereka yang menanam biji-bijinya yang mereka rawat sebaik-baiknya. Untuk membangun negara yang luas dan besar ini juga dibutuhkan perjuangan yang besar dan panjang serta berkesinambungan.

Pemerintah dan rakyat harus bahu membahu untuk itu. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan pendidikan yang tepat kepada rakyatnya agar bangsa ini bisa membangun budaya untuk cepat dapat mengejar ketinggalannya. Kalau kebanyakan orang pesimis dengannya, maka boleh jadi mereka yang pesimis tersebut secara tidak sadar telah "membunuh" salah satu aset yang akan menjadi cikal bakal budaya itu sendiri. Justru kita lah yang harus dan akan membangun budaya bangsa ini, bukan orang lain atau bangsa lain.

Mari kita bangun Indonesia dengan membangun akar budaya intelektual di masyarakatnya. Kalau kita sekarang menanam biji-bijinya, kelak generasi kemudian yang akan menuai buahnya. Kalau mereka bisa, kenapa kita kita tidak. Tidak ada kata terlambat bagi seorang pahlawan bangsa yang akan membangun bangsanya agar menjadi bangsa yang besar, makmur dan sejahtera.

Sumber:
1. Karakuri.info
2. Asia-Pacific Magazines, January 2006 edition.
3. Aichi Expo World 2005 info.